Perkembangan manusia,mengalami dua macam perkembangan yaitu
jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur
berdasarkan umur kronologis, puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia
disebut kedewasaan. Sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat
kemampuan (Abilitas), pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi
perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Dibawah ini kami mencoba untuk
memaparkan criteria pemimpin yang matang psikologis, istilah perkembangan untuk menunjukkan bahwa seseorang menanggapi keadaan atau lingkungan dengan cara yang tepat. inilah yang diharapkan publik dalam masyarakat di Republik ini. matang dalam pengambilan keputusan dan bijak dalam menanggapi segala ktitik tetapi tidak macak tuli dan bisu diam seribu basa tanpa respon secara verbal sedikit pun.
Pengertian Matang psikologis
Manusia mengalami dua macam
perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur
berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia
disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat
kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan
rohani disebut istilah kematangan psikologis (Maturity).
Kemampuan seseorang untuk mengenali
atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta
menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari
kematanan beragama, jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang
untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut
keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi
penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku
keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Yang Mempengaruhi
Perkembangan Kepribadian Manusia.
Seperti halnya yang telah dijelaskan
diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai diusia anak-anak, maka
kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan perkembangan rohani.
Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan
memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi
maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan
kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik
(jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata
belum matang.
Keterlambatan pencapaian kematangan
rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai keterlambatan dalam
perkembangan kepribadian. Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak dan
factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun factor intern anak itu yang
dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur
dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus
(intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua
factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian
seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh
factor lingkungan adalah: keluarga, sekolah (Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain
itu ada factor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang
yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut
mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian.
Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur
seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh
dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian
seseorang. Demikian pula halnya dengan kematangan dalam berkeyakinan dan kepercayaan.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai
mereka yang taat menyembah Tuhan itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman kejiwaan
serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan
psikologi keyakinan terhadap Tuhan YME mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian
pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap
keberagamaan masing-masing.
Temperamen merupakan salah satu
unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari
kehidupan jiwa orang-orang yang melancholis akan berbeda dengan orang yang
berkepribadian displastis dalam sikap dan pandangannya terhadap ajaran dalam kepercayaanya.
Sebagaimana halnya
mistisisme, tasyawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung
dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada
dihadirat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi
(Harun Nasution: 56). Kesadaran berada dekat Tuhan itu dapat mengambil bentuk
ijtihad, bersatu dengan Tuhan.
Ciri khas Mistisisme yang pertama
kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa
pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai
puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Dengan demikian mistisisme
menurut pandangan psikologi hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari
gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik, tanpa
harus mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisisme merupakan gejala umum
yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik maupun
nonteistik.Sejarah perkembangan aliran
kepercayaan mengingatkan pada “sila ketuhanan yang maha esa”
Jadi kematangan psikologis terlihat
dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut
suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena
itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam
sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan
memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berfikir, kematangan
kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi perimbangan antara kedewasaan
jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar, secara
fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ternyata
ia belum matang.
DAFTAR PUSTAKA
H.
Jalaludin, Prof. Dr, Psikologi Agama Edisi Refisi 2002, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002.
H.
Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta,
2002.
Nasution
Harun, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Tafsir
Ahmad, Prof. Dr, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
dewasa dalam mendorong revolusi kamrade.....
BalasHapus